Thursday, January 19, 2006

(Art) Matematika Haji

Koran ยป Resonansi

Senin, 16 Januari 2006

Matematika Haji

Oleh : Ahmad Tohari

Harap tidak bingung dengan judul tulisan ini. Saya hanya ingin mengajak umat Islam benar-benar prihatin atas musibah yang setiap kali menimpa para jamaah haji, terutama sejak tragedi Mina 1990. Saat itu seribu jamaah haji meninggal karena berimpitan dan terinjak-injak di terowongan Mina. Pada tahun-tahun berikutnya masih saja terjadi hal serupa meskipun jumlahnya tidak sehebat korban tragedi Mina; ada kebakaran tenda, ada gedung pemondokan rubuh, dan ada juga ulangan tragedi Mina dalam skala yang lebih kecil. Dan, yang terakhir, tragedi lempar jumrah yang menelan korban sekitar 300 orang.

Mengapa musibah itu masih terjadi? Padahal pemerintah Arab Saudi telah berbuat banyak, dan terpaksa melakukan ''bid'ah'' dengan misalnya, membuat jalan layang antara Safa dan Marwa agar perjalanan sa'i lancar karena ada dua, jalan darat dan jalan layang. Terowongan Mina juga sudah dibuat dua jalur sehingga para jamaah yang melewatinya bisa diatur hanya satu arah. Demikian juga untuk keperluan lempar jumrah; jalan diperluas, ada jalan layang, bahkan tugu lemparan sudah diubah menjadi bidang-bidang tembok yang cukup luas. Semua dibuat agar jamaah tidak terlalu berdesakan. Tapi, ya, kenapa korban masih tetap berjatuhan?

Kita bertanya demikian karena kita tidak ingin ibadah haji menjadi ibadah yang berisiko kematian. Kita tidak ingin ibadah haji tercitra sebagai ibadah yang berdarah-darah. Pikiran demikian tentu wajar karena salah satu syarat orang naik haji adalah, bila keadaan aman. Artinya, tidak ada ancaman keselamatan. Memang, syarat aman dulu dimaksudkan sebagai tidak adanya perang. Tapi masalahnya, apa bedanya meninggal karena dibunuh atau dirampok dengan meninggal karena terinjak-injak oleh sesama jamaah?

Meninggal dunia ketika menjalankan perintah Allah, dalam hal ini ibadah haji, tentu merupakan kematian yang sangat indah dan kita yakin hanya syurgalah imbalannya. Jadi kita beriman bahwa ribuan bahkan jutaan jamaah yang telah menjadi korban musibah haji kini sedang bersuka ria menikmati janji Allah. Tapi, membiarkan kondisi yang berpotensi membuat terus jatuhnya korban di antara para jamaah haji adalah perkara lain. Ini sebuah kesalahan besar atau bahkan sebuah dosa yang sulit diampuni. Nah, dari sinilah muncul matematika haji.

Maksud saya begini: Ibadah haji dilaksanakan dalam waktu tertentu dan di tempat yang tertentu pula. Keduanya sudah paten, tidak bisa diulur atau dimekarkan lagi. Masjidil Haram, Mina, Arafah, ya sebesar itu adanya. Waktu pelaksanaan haji pun sudah dipastikan hanya pada hari-hari tertentu di bulan Haji. Maka sebenarnya secara matematis ada batas maksimum jumlah jamaah yang bisa dilayani dengan baik dan dijaga keselamatannya selama mereka berada dalam ruang dan waktu haji itu.

Tapi, pada sisi lain jumlah umat Islam makin banyak dan dakwah (antara lain menganjurkan orang naik haji) tetap wajib dijalankan. Hasilnya jumlah peminat naik haji makin tinggi. Dan sekarang, ketika jumlah jamaah haji mencapai 3 juta orang, pelayanan sudah tidak bisa maksimal bahkan keselamatan jiwa sudah kurang terjamin. Apakah jumlah 3 juta itu sebenarnya sudah melampaui batas kemampuan tampung ruang dan waktu haji? Kalau begitu apa yang terjadi kelak kalau jamaah sudah mencapai 5 juta orang?

Umat Islam Indonesia melalui MUI mungkin bisa membuat aturan tersendiri. Misalnya, yang boleh naik haji dibatasi umurnya, dari 20 hingga 60 tahun. Yang sudah haji jangan berangkat lagi kecuali para pembimbing. Peraturan semacam ini pasti akan banyak penentangnya. Tetapi usul ini masih lebih moderat daripada opsi ekstrem yang dulu pernah ditawarkan; naik haji di luar bulan Zulhijah, atau berhaji di luar Tanah Suci.

Ah, masalahnya bukan usul yang moderat atau ekstrem melainkan adanya batas daya tampung ruang dan waktu haji yang sifatnya objektif. Ketika batas itu mendekat, kita harus cari siasat agar ibadah haji tidak mengandung risiko kematian. Siasat itu hanya bergerak di wilayah dzani atau malah berani membongkar yang paten alias qat'i. Nah, terserah para ulama.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home