Monday, January 09, 2006

(Art) Kurban dan Etos Kedermawanan

Koran ยป Resonansi Senin, 09 Januari 2006
Oleh : Ahmad Tohari
Lama tidak ada kontak, kemarin ikhwan Muhajir, santri metropolitan itu, kirim pesan pendek. Isinya berkaitan dengan Hari Raya Kurban yang akan jatuh Selasa besok. "Semangat berkurban lewat sapi/kambing belum/tidak terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Yg ada semangat menang sendiri, saling sikut/menjatuhkan. Dimana/apa permasalahannya?" Kemudian, seolah-olah tanpa peduli terhadap pesan singkat Muhajir itu saya balik bertanya. "Para korban bencana alam di Banjarnegara sungguh menyedihkan. Sampeyan tidak lupa membantu mereka?" Dan jawab ikhwan Muhajir, "Insya Allah sudah."
Untung ikhwan Muhajir menjawab sudah membantu para korban itu. Jadi dia insya Allah termasuk kelompok sedikit orang yang jiwanya sudah terpoles oleh semangat berderma seperti diajarkan oleh Nabi Ibrahim melalui ritus pemotongan hewan kurban yang kemudian dilestarikan dalam syariat Islam. Namun seperti pertanyaan Muhajir dalam awal tulisan ini; mengapa semangat berkurban pada umumnya belum terwujud dalam perilaku sehari-hari? Pertanyaan ini pasti muncul dari kenyataan bahwa egoisme dan individualisme masih bahkan makin berkembang di tengah masyarakat.
Sebaliknya, setia kawan, gotong royong, dan semangat memberi malah makin jauh dari kehidupan. Jangankan watak suka memberi, sekadar perilaku jujur, tidak suka mengambil hak orang lain bahkan kini menjadi hal yang jarang bisa ditemukan di tengah masyarakat. Bila kenyataannya demikian, apa masalahnya? Apa atsar-nya ajaran yang disampaikan melalui ritus potong hewan kurban?
Itulah pertanyaan ikhwan Muhajir yang mungkin mewakili unek-unek banyak orang kritis lainnya. Dan bila saya harus menjawab pertanyaan itu maka saya hanya bisa menyitir ucapan almarhum Dr Nurcholish Madjid. Bahwa keberagaman kita masih sangat didominasi oleh penghayatan simbolistik tak terkecuali terhadap ritus pemotongan hewan kurban. Jelasnya, ritus ini yang seharusnya dihayati hanya sebagai simbol, malah dianggap sebagai makna alias tujuan. Maka ketika orang sudah menjalankan perintah potong hewan kurban, selesailah semuanya. Karena menganggap sebagai tujuan dia tidak merasa perlu mencari makna yang tersembunyi di balik simbol potong hewan kurban itu.
Padahal bila cukup kritis kita bisa bertafakur, mengapa Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor domba jantan untuk dikurbankan dengan cara disembelih? Apakah Allah SWT tidak konsisten dengan sabdaNya? Pastilah tidak demikian. Yang lebih masuk akal, pertama, karena dengan perintah menyembelih Ismail, Allah SWT hanya ingin menguji kesetiaan Ibrahim dan menguji masih adakah egoisme dalam dirinya. Dan Ibrahim lulus. Kemudian, kedua, Allah SWT hendak menjelaskan bahwa bukan Dia melainkan manusialah yang akan mengambil manfaat adanya amal kurban itu. Maka digantilah Ismail dengan seekor domba jantan agar dagingnya bisa dinikmati manusia.
Meskipun demikian semua ini tentulah masih bersifat simbol karena perintah potong hewan kurban hanya jatuh sekali dalam satu tahun. Apakah arti membagikan daging setahun sekali bila orang-orang miskin yang butuh pertolongan kita ada di mana-mana dan mereka memerlukan perbaikan gizi saban hari? Ini sama dengan perintah membayar zakat fitrah; apalah arti pemberian 2,5 kilogram beras kepada orang miskin bila hanya terjadi setahun sekali?
Maka baik perintah memotong hewan kurban maupun perintah membayar zakat fitrah mestinya hanya dipahami sebagai sebuah simbol yang bertujuan menumbuhkan sikap yang lebih maknawi yaitu menumbuhkan watak senang berkurban atau etos kedermawanan. Seseorang yang sudah memiliki etos ini tidak hanya senang berkurban atau suka memberi. Lebih jauh lagi, orang yang sudah punya etos kedermawanan tidak akan suka menjadi pihak 'tangan di bawah'. Dan lebih tidak suka menjadi pengambil hak orang lain maupun hak masyarakat atau korupsi.
Tapi di tengah masyarakat kita sering ada koruptor yang dermawan dan juga senang memotong hewan kurban. Ini bagaimana? Yah, berderma dan berkurban dengan harta yang tidak halal tidak akan ada manfaatnya bagi yang bersangkutan. Dia hanya penipu. Dan Allah SWT tidak akan bisa ditipu oleh seorang munafik yang paling canggih sekalipun.
Nah, besok akan banyak orang memotong hewan kurban. Selamat, semoga amal ini menjadi awal tumbuhnya etos kedermawanan. Dan dengan etos yang tumbuh dari kesadaran suka berkurban itu akan banyak sekali manusia menderita tertolong. Mudah-mudahan para korban bencana di Jember, Banjarnegara dan tempat-tempat lain segera merasakan buah ajaran kurban yang tidak hanya dimaknai secara formal belaka.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home