Tuesday, January 10, 2006

(Opi) Jauhilah Sifat Sombong (TRUE STORY)

Jauhilah Sifat Sombong (TRUE STORY)

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (QS. 4:36)

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. (QS. 17:37)

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. 31:18)

Tiga ayat di atas sekedar menggambarkan bahwa kita sebagai manusia yang dhaif janganlah bersikap sombong karena hal itu sangat dimurkai Allah. Rasulullah SAW dan para sahabat dalam berbagai riwayat digambarkan sangat jauh dari sikap sombong ini dan sangat dekat dengan ummatnya (merakyat). Khalifah Abu Bakar bahkan membebaskan Bilal bin Rabbah dari budak. Khalifah Umar bahkan memanggul sendiri karung makanan dan mengantarkannya sendiri ke rumah ummatnya yang kelaparan.

Ini sangat berbanding terbalik dengan kondisi para petinggi kita sekarang yang tidak ada rasa empati sama sekali terhadap penderitaan rakyat. Di berbagai media bahkan seorang menteri berkata sombong, “kalau tak mampu ya jangan beli Elpiji” ketika diwawancarai masalah kenaikan harga Elpiji.

Hal-ikhwal masalah kesombongan ini penulis mempunyai pengalaman pribadi beberapa tahun lalu sekitar tahun 1995 â€" 996 ketika berteman dengan mas PB yang merupakan tetangga kos penulis. Karena berasal dari daerah yang sama dan sama-sama merantau di Jakarta barangkali kata yang tepat sebagai alasan kedekatan penulis dengan Mas BP ini. Di kamar kost yang berukuran kira-kira 3x4 m2 penulis tinggal berdua dengan teman sekantor, sementara Mas BP tinggal berdua dengan istrinya. Karena masih kost maka penulis dan Mas BP sering makan malam bareng di warung yang berada di sekitar kost-kostan. Pernah suatu ketika waktu makan sahur di warung hujan turun dengan lebatnya dan kebetulan tidak membawa payung, penulis dan Mas BP berdua berteduh di warung semi permanen yang bocor sana-sini. Sementara penulis membeli nasi 2 bungkus untuk makan sahur berdua di kamar, dan Mas BP juga membeli 2 bungkus untuk sahur berdua dengan istrinya. Mengingat waktu imsak yang sudah dekat kami terpaksa hujan2an pulang ke rumah. Barangkali ini pengalaman berkesan penulis dengan Mas BP. Selain dekat dengan Mas BP penulis juga ada mengenal dengan beberapa kerabat dan orang tuanya yang sering berkunjung ke Kost Mas BP. Mas BP sendiri berkerja di sebuah LSM milik ormas Islam yang dekat dengan Parpol besar.

Perkembangan selanjutnya, karena penulis pindah kerja maka mengharuskan penulis juga harus pindah tempat kost sehingga berpisah dengan Mas BP. Semenjak itu penulis tidak pernah kontak lagi dengan Mas BP, hingga suatu ketika di tahun 2000 penulis lihat Mas BP ada tampil di TV. Dan semenjak itu wajah Mas BP sering tampil di TV bak selebritis. Rupanya perkembangan mas BP sudah ada tampil sebagai anggota DPR parpol besar tsb. Kemudian info dari kerabat Mas BP yang penulis kenal, penulis dapat info no telp rumah Mas BP di kompleks DPR di Kalibata. Ketika penulis telp pengin bertemu Mas BP menyambutnya dengan baik dan memberi waktu. Pada hari yang dijanjikan penulis datang ke rumah dinas Mas BP, ketika membuka pintu Mas BP langsung memeluk saya. Penulis meluangkan waktu yang cukup lama di rumah Mas BP dengan berbincang berbagai hal. Tidak banyak yang berubah dengan Mas BP, sederhana dan tidak ada kesan sombong. Masih mau menerima kedatangan saya yang orang biasa dan menyambut cukup hangat. Ini barangkali pengalaman penulis berteman dengan Mas BP yang sekarang sudah menjadi tokoh nasional.

Pengalaman lain, di sekitar tahun 1992 penulis sewaktu masih kuliah bersama teman-teman pernah mengundang Pak Amien Rais untuk menjadi pembicara pada peringatan Isra’ Mi’raj. Beliau berkenan hadir di pengajian kampus yang mengambil tempat di salah satu ruangan kuliah yang saat itu hanya dihadiri sekira 50-an hadirin mahasiswa/wi dan beberapa orang dosen. Memang saat itu Pak Amien Rais hanya sebatas pengamat masalah timur tengah dan pengurus pusat PP Muhammadiyah serta anggota dewan pakar ICMI dan belum menjadi seperti sekarang.

Namun demikian setelah menjadi Ketua MPR pun tidak banyak berubah dari Pak Amien Rais ini, tetap sederhana dan masih mau bergaul dengan tukang becak, tukang cukur, dan masyarakat di sekitar kediamannya di Yogya. Pak Amien juga merupakan pejabat negara paling miskin dalam artian harta kekayaannya paling kecil dibanding dengan lainnya. Ketika penulis dan kawan-kawan bersilaturahim ke rumah dinas Pak Amien Rais di Widya Chandra disambut dengan hangat tanpa prosedur protokoler yang berarti.

Ini terkadang sangat ironi sekali dengan yang ada di sekeliling kita. Baru jadi Ketua RT atau RW saja sudah sombong (orang Betawi bilang BELAGU), dan sangat sulit ditemui dengan alasan sibuk dsb. Penulis juga punya pengalaman dengan rekan kerja penulis satu angkatan, yang pernah mengalami pendidikan yang sama. Mengaji dan jalan sering bareng dengan penulis. Sering teman tsb datang ke tempat kost penulis untuk mengajak jalan-jalan ke toko buku atau nonton film. Namun perkembangan teman penulis mendapat promosi kenaikan jabatan mendahului rekan-rekan seangkatan, kontan sikapnya menjadi berubah 180 derajat. Teman penulis tersebut sudah berubah total, tidak mau lagi bergaul dengan penulis atau dengan rekan-rekan lain seangkatan dan cenderung menjaga jarak. Kalaulah terpaksa harus bertemu, biacarapun seadanya dan sekedar basa-basi, tidak sehangat dan seakrab dulu lagi.

Kiranya peringatan Allah pada ayat di atas benar adanya agar kita selalu menjauhi sifat sombong.

Salam

0 Comments:

Post a Comment

<< Home