Wednesday, May 28, 2008

Model Investasi (Sebuah Renungan Bijak)

Berikut ada tulisan bagus yang pernah diposting di berbagai milis beberapa waktu lalu. Sayang tidak ada yang menyebutkan siapa penulis asalnya. Semoga bermanfaat.

Salam

Model Investasi

"How do you invest for your future?" tanya saya pada seorang teman yang nampaknya hidupnya makmur dan keluarganya bahagia pada saat saya datang ke rumahnya yang asri. Saya ingin tahu rahasianya bagaimana ia bisa memperoleh kehidupan yang nampak begitu nyaman. Ia tidak langsung menjawab, entah karena saya bertanya dalam bahasa Inggris atau karena itu bukan pertanyaan yang biasa dilontarkan. Ia bahkan balik bertanya

"Investasi bentuk apa dan masa depan yang bagaimana ?" (Curang. Baliknya malah dua pertanyaan). Kali ini saya yang gelagapan.

"Yah...nabung untuk pendidikan anak-anak, nabung untuk masa-masa sulit, nabung untuk pensiun. Kalau-kalau kita sakit, dll. Kita kan orang swasta," Jawab saya sekenanya. Kali ini dalam bahasa Indonesia.

Ia lantas tertawa. "Saya pikir kamu bicara tentang 'The Ultimate Future'. Itu pertanyaan yang berat dan serius tapi kalau ini sih pertanyaan remeh." tambahnya. Saya jadi penasaran.

"So..., how ?" tanya saya mendesaknya.

Dengan senyum tertahan ia lantas menjawab,: "Saya telah memperoleh masa depan saya. Masa depan saya ya sekarang ini." Sialan! Ia mulai jahil dan hendak mempermainkan saya rupanya.

Karena tahu saya mulai jengkel ia lantas bercerita tentang masa lalunya. Katanya ia dibesarkan dari keluarga besar dengan kehidupan yang sangat miskin. Untuk makan sehari-haripun susah sehingga sering ia datang berkunjung ke rumah temannya yang kehidupannya lebih baik pas waktu makan malam agar bisa diajak makan sekalian.

Ketika duduk di bangku SMP ia bahkan harus berjalan kaki 8 km pp setiap hari untuk bersekolah. Jangan ditanya soal pembayaran SPP dan iuran lain-lain, tambahnya.

" Untungnya saya punya urat malu yang bisa disetel sehingga tidak pernah berpikir untuk bunuh diri atau keluar dari sekolah seperti beberapa teman yang lain meski dengan tekanan yang luar biasa besarnya." katanya, "Meski saya juga bukan anak yang cerdas dan memiliki prestasi di sekolah. Kamu tahu saya kan" tambahnya. "Gimana bisa punya prestasi kalau nggak punya buku diktat dan sering berangkat sekolah dengan perut kosong ?" tambahnya setengah bertanya. "Tapi saya punya keinginan kuat untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan meski saya tidak tahu bagaimana caranya." sambungnya.

"Sekolah adalah salah satu jalannya karena hanya itu yang saya miliki. Saya tahu itu karena saya banyak melihat anak-anak di kampung saya yang hanya bisa 'berkarier' di terminal bis dan angkot karena tak mampu bersekolah. Kalau tidak nyopir ya jadi jualan apa saja. Kalau yang punya sedikit keberanian ya jadi preman"

"Apa masa depan yang saya perjuangkan pada saat itu ?" Tiba-tiba ia bertanya pada saya. Saya diam saja karena tahu itu pertanyaan retorik. Ia lantas menjawab sendiri. "Waktu itu saya sering berdoa dalam hati :"Ya, Allah, kalau Kau memberiku pekerjaan yang baik, penghasilan yang cukup, anak dan istri yang menyenangkan, maka itu cukuplah bagiku." dan Allah telah memberi semua 'masa depan' yang saya inginkan tersebut sekarang ini." katanya sambil mengangkat kedua belah tangannya.

"Saya sudah memperoleh masa depan yang saya idam-idamkan sekarang ini dan saya tengah menikmatinya. Tidak ada lagi yang harus saya perjuangkan untuk diri saya pribadi" tambahnya. Entah mengapa tiba-tiba saya merasa seperti disindir.

"Tapi kita kan harus terus berusaha dan kita juga harus memikirkan masa depan anak-anak kita bukan hanya kehidupan kita sekarang tapi juga dimasa yang akan datang." Demikian sergah saya membela diri.

"Tentu saja" jawabnya,"Emangnya kamu lihat saya doing nothing dan tidak memikirkan masa depan anak-anak saya?" Ia balik bertanya. "Bekerja dan berpikir adalah nafas kehidupan saya dan anak-anak adalah investasi saya,"

Saya masih defensif ketika ia meneruskan,"Justru itulah kita perlu memberikan teladan yang baik kepada anak-anak kita karena merekalah investasi kita. Kita ingin menuai hasil yang baik maka kita perlu menanam benih-benih yang baik pula. Harta, deposito dan tabungan pendidikan yang kamu simpan itu bukan investasi " Oops! kok tahu-tahunya ia kalau saya tertarik pada Program Tabungan Pendidikan yang gencar ditawarkan oleh bank-bank pada istri saya. "Biaya pendidikan bukanlah bagian yang terpenting tapi justru bentuk pendidikan apa yang hendak kamu berikan pada anak-anakmu yang lebih penting. Keteladanan adalah bentuk investasi yang akan saya tanamkan pada anak-anak saya"

"Inggih, Mbah!" jawab saya mengoloknya dan kamipun tertawa bersama.

Percakapan menjadi serius ketika ia bilang bahwa 'The Ultimate Future' yang sedang ia persiapkan adalah masa 'Life After Death'.

"Itu baru the Real Future!" katanya sambil tertawa,"Dan saya sedang serius mempersiapkannya."

Sambil wanti-wanti untuk tidak menceritakannya pada orang lain iapun bercerita bahwa ia sudah mulai menyisihkan penghasilannya lebih dari 10% untuk dibagi-bagikan pada tetangga-tetangganya yang kebanyakan orang miskin. Setiap bulan ia membagi-bagikan natura dan keperluan hidup berbentuk beras, supermie, telor, minyak goreng, sabun cuci, dll. kepada tetangga-tetangganya. Ia juga mengaku tidak punya tabungan khusus untuk masa-masa sulit seperti yang saya maksudkan dan juga tidak punya tabungan pendidikan bagi anak-anaknya. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan biaya yang ia butuhkan pada saatnya kelak.

"Saya 'meminjamkan' harta saya kepada Allah dan nantinya akan dibalas dengan berlipat-lipat. Saya punya jaminan deposito yang tidak bisa dikalahkan oleh lembaga keuangan manapun di dunia ini" jawabnya sambil tersenyum setengah menggoda.

"Bisa nggak 'pinjaman' kita tersebut diambil sewaktu-waktu kalau kita membutuhkannya," tanya saya balik menggodanya.

"Tentu saja. Itu tinggal kita atur dengan Allah." jawabnya kalem.

"Gimana...?" saya mengubernya dan mulai merasa keqi.

"Ya tinggal bilang saja, 'Ya Allah Engkau tahu kapan saya membutuhkannya dan kapan tidak maka aturkanlah sebaik-baiknya untukku' Insya Allah beres." sahutnya.

"No...no...no! I'm serious" jawab saya agak jengkel.

"Saya juga serius." Ia menjawab sambil menatap saya dalam-dalam, "Dan itulah yang terjadi dalam hidup saya." Kami saling berpandangan selama beberapa detik sebelum akhirnya kami tertawa bersama-sama.

"Apa yang kamu kuatirkan dalam hidup ini ?" Tanyanya balik. "Bukankah burung yang terbang di langit dan cacing yang melata di bumi telah dijamin hidupnya oleh Yang Menciptakannya ?" ia melanjutkan. "Cicak yang merayap saja tidak pernah kuatir dengan hidupnya meskipun makanannya berupa mahluk yang terbang dan ia tidak punya alat untuk menjeratnya."

"Muuulai..!" kata saya dalam hati tapi tidak terucap. Biasanya kalau ia sudah mulai bicara mengenai filosofi maka akan sulit untuk menginterupsinya. Percuma untuk membantahnya meskipun menggunakan argumentasi sebagaimanapun canggihnya. Sebelum pembicaraan berlarut sedangkan saya masih harus menemui seseorang maka saya segera menghentikannya. Saya sebetulnya ingin mendebatnya dengan menyatakan betapa banyaknya orang yang kelaparan dan tidak mampu untuk mencari makan sehari-hari. Tapi niat tersebut saya urungkan karena perdebatan akan menyita banyak waktu saya.

"Oke...oke.! Tapi saat ini saya perlu bertemu dengan seseorang yang bisa menjamin apakah saya dapat proyek atau tidak. Nantilah kita teruskan cerita kita."

"Dasar penganut paham materialisme!" sahutnya sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. dan kamipun tertawa bersama-sama.

Tapi ditengah perjalanan saya jadi terganggu oleh pertanyaannya. Bahkan ketika saya menemui 'Mr Kepala Proyek'. Gambaran teman saya tentang cicak yang bersusah-payah memburu mangsanya yang terbang di sekitar lampu untuk bisa hidup membuat saya jadi terkesima. "Alangkah sulitnya hidup sebagai cicak" pikir saya akhirnya. Seandainya ia bisa terbang seperti mangsanya mungkin akan lebih memudahkan hidupnya karena ia bisa mengubernya kemana saja mangsanya tersebut terbang. Tapi ia harus menerima nasibnya hanya bisa merayap dan mengandalkan kecepatannya bergerak dan kelengahan mangsanya.

"Lantas bagaimana cara cicak mengurusi anak-anaknya ? Bagaimana pendidikan anak-anaknya ? Apakah ia memiliki asuransi pendidikan ?" Tiba-tiba saja pertanyaan absurd tersebut muncul di kepala saya.

"Bagaimana, Pak! Sampeyan bersedia dengan angka sekian?" Tiba-tiba saya dikagetkan oleh pertanyaan 'Mr Kepala Proyek'.

"Ya...ya..ya.!" jawab saya buru-buru. Gambaran sang cicak yang mengurus asuransi pendidikan bagi anak-anaknya lantas buyar begitu saja.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home