Wednesday, May 28, 2008

[Artikel] Cukilan Sejarah Terpendam: Idul Fithri di Indonesia sebagai Show of Force Ummat Islam*)

Sebulan lamanya sepanjang Ramadhan yang mulia, kaum muslimin berada dalam gemblengan Ilahi menunaikan perintah puasa, menata dirinya agar menjadi insan yang bertaqwa dan taat kepada titah perintah Khaliq-Nya.

Dalam bulan suci itu kaum muslimin berjuang dengan mensucikan jiwa-raganya agar bersih dari debu-debu dosa yang selama ini mungkin melekat pada rohani dan jiwa mereka. Dan sebulan lamanya beramai-ramai mengabdi kepada Ilahi, berduyun-duyun datang ke masjid-masjid, langgar-langgar, dan mushalla untuk melakukan shalat tarawih dan witir serta mendengarkan ceramah ramadhan yang disampaikan oleh para Da'I dan Mubaligh. Dengan gemblengan "Sekolah Ramadhan" yang berkah itu, jiwa kaum muslimin menjadi kuat dan terlatih, menjadi kompak dan bersatu bahu membahu mematuhi perintah Ilahi. Dan dengan jiwa yang bersih suci kompak berstau itu kaum muslimin pada akhir Ramadhan melahirkan kegembiraan mereka keluar rumah di pagi hari raya yang permai berseri menjalankan Syariat Shalat Idul Fithri menuju lapangan yang luas sebagai tasyakur dan unjuk kekuatan, bagaikan tentara yang kembali dari medan perang yang dahsyat dengan membawa kemenangan yang gilang gemilang, MINAL 'AIDIN WAL FAIZIIN TAQABALALLAHU MINNA WA MINKUM.

Jiwa Baru

"Sekolah Ramadhan" yang hanya sebulan lamanya itu mebawa berkah yang menakjubkan bagi kaum muslimin. Ia telah menumbuhkan pada diri kaum muslimin semangat dan jiwa baru yang berkobar-kobar, sehat dan segar bugar yang siap maju ke depan di segala arena dan sektor medan juang.

Sunnah Rasulullah

Menurut Sunnah Rasulullah, Shalat Idul Fithri itu memang lebih baik diadakan di lapangan terbuka. Dan beliau amat jarang mengadakannya di masjid, kecuali hari hujan. Sebab berbaris bershaf-shaf di lapangan terbuka akan menambah syiarnya upacara shalat Hari Raya dan sekaligus unjuk kekuatan kepada lawan yang selama ini menjadi penarung dan batu penghalang bagi semaraknya agama Islam. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah sampai akhir hayat beliau di Madinah.

Idul Fithri di Indonesia

Shalat Idul Fithri di tanah air kita Indonesia mempunyai sejarah yang unik, karena pada umumnya kaum muslimin Indonesia sebelum tahun 1930 melakukannya hanya di masjid-masjid, tidak di lapangan terbuka. Ini disebabkan antara lain adanya rintangan dari pemerintah Kolonial Belanda untuk melakukannya di lapangan-lapangan terbuka. Tetapi apakah rintangan itu akan dibiarkan terus menjadi penghalang ? Tidak !

SI Pelopor dalam Agama

Waktu itu Syarikat Islam (PSII) adalah satu-satunya partai politik Islam yang menjadi pelopor dalam politik dan pelopor dalam agama. Pergerakan rakyat di waktu itu mengalami tekanan yang amat berat dari pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi justru dalam situasi dan kondisi yang sedemikian itu pulalah orang menilai kepemimpinan dari tokoh-tokoh pergerakan yang sejati. SI mencoba menembus halangan yang dibuat oleh pemerintah Kolonial Belanda dan sekaligus test case bagi jiwa dan semangat ummat sampai di mana keberanian mereka untuk menerapkan ajaran agama di hadapan mata lawan-lawan mereka yang senantiasa memandang dengan mata yang penuh kecurigaan.

Demikianlah Pucuk Pimpinan SI pada tahun 1931 menginstruksikan kepada SI Cabang Bandung supaya mengadakan Shalat Hari Raya di lapangan terbuka sambil menjelaskan bahwa yang akan bertindak sebagai Khatibnya adalah tidak tanggung-tanggung, yaitu AM. Sangaji, Presiden Lajnah Tanfidziyah PSII sendiri, yang terkenal sebagai singa mimbar SI di samping HOS. Cokroaminoto. Tetapi yang sudah jelas, bahwa melaksanakan instruksi Laznah Tanfidfziyah SI tidaklah gampang, kerena harus melalui ijin pihak yang berwajib terlebih dahulu. Apalagi hal itu suatu hal yang belum pernah terjadi dan sungguh ditakuti akibatnya oleh pemerintah Kolonial itu sendiri.

Walaupun ijin telah diminta, tetapi surat ijin dan pemberitahuan tidak juga kunjung datang, sedang waktu sudah makin mendesak, dan hari raya telah hampir tiba.

Jasa tak terduga seorang Intelek Muslim

Syafei Wirakusumah (83 tahun), pimpinan SI Cabang Bandung yang waktu itu bertugas selaku ketua pelaksana Shalat 'Ied, bekerja dengan keras untuk mendapatkan ijin. Dan pada suatu petang ia berjalan-jalan di tengah kota, tiba-tiba ada orang yang menyapa, "hendak kemana dan apa gerangan yang sedang dipikirkansambil berjalan-jalan di petang hari ini ?".

"Saya berfikir bagaimana caranya supaya cepat keluar ijin Shalat 'Ied yang akan dilangsungkan di lapangan Tegal Lega Bandung itu ?", Jawab Syafei tegas.

"Apakah anda kenal dengan Prof. Kamal Schoemaker dosen THS (sekarang ITB) ? Cobalah datang ke rumah beliau, mungkin beliau dapat membantu dan menunjukkan jalan !", tukas orang yang baik itu sambil memberi harapan kepada Ketua Panitia.

Syafei, Ketua Panitia menuju rumah Prof. Kamal Schoemaker seorang yang belum dikenalnya. Tetapi diluar dugaan, bahwa intelektual yang berkebangsaan Belanda itu rupanya seorang muslim yang taat kepada agamanya. "Demikian ramah dan simpatik", kata Syafei kepada penulis ketika mengungkapkan kenangannya kepada peristiwa sejarah masa lalu itu. Sarjana Muslim yang taat itu ketika dijelaskan kepadanya maksud "Syarikat Islam" akan melaksanakan Shalat Ied di lapangan "Tegal Lega" dengan sepontanitas yang mengejutkan mendukung dan merestui maksud yang mulia itu. Ia malah mendukung dengan moral dna material.

Terbukti sebentar itu kuga ia angkat gagang telephone dan menghubungi Tuan Residen Bandung. Karena mungkin dianggapnya Residen turut menghalangi keluarnya ijin dari yang berwajib atau bahkan tidak diijinkan sama sekali. Tidak puas dengan itu, ia membuat telegram kepada Gubernur Jendral yang bersemayam di Bogor waktu itu itu atas nama dirinya dan dengan ongkosnya, tetapi aia minta tolong kepada panitia untuk melaksanakannya segera.

Dan saat Panitia meminta ijin pulang, karena apa yang dimaksud telah tercapai dan hari telah menjelang maghrib, maka sang Profesor masih menahan lagi tamunya, karena beliau masih ingin shalat berjamaah dengan tamu-tamunya itu di mushalla khusus yang terletak di dalam rumahnya itu.

Shalat 'Ied yang pertama di lapanga

Bila Hari Raya telah datang, maka penduduk kota Bandung berduyun-duyun ke lapangan "Tegal Lega" dengan hati yang girang-gembira serta semangat yang berkobar-kobar untuk menunaikan Shalat 'Ied beramai-ramai, apalagi khutbah 'Ied dibawakan oleh tokoh pergerakan yang populer di masa itu, AM. Sangaji.

Alangkah bahagianya kaum muslimin Bandung sepagi hari itu, mereka mengadakan "Show of Force" unjuk kekuatan kepada lawan-lawannya, dan juga memperlihatkan kepada pemerintah Kolonial Belanda bahwa bagaimanapun beratnya tindasan dan tekanan, ummat Islam tidak gentar dan tetap akan melawan dan akan menuntut hak-hak asasinya sebagai makhluk Allah yang harus duduk sama rendah, tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Ketua Panitia dipanggil PID

Shalat 'Ied yang merupakan Show of Force yang pertama kali dalam sejarah keagamaan itu membuat Belanda terutama pemerintah setempat menjadi geger dan ketakutan. Ketua Panitia dipanggil Kepala Polisi (PID) bandung, dijemput dengan kendaraan polisi yang berbentuk perahu itu. Setelah tiba di kantor polisi terjadi dialog berikut:

"Kenapa tuan berani mengirim kawat telegram kepada Gubernur Jendral di Bogor ?", tanya Kepala Polisi.

"Memang saya yang mengirimkan, tetapi itu adalah atas saran Prof. Kamal Schoemaker, dan kata-katanya pun beliau sendiri yang menuliskannya", jawab Ketua Panitia.

"Lain kali jangan dibuat lagi ya !", sahut Kepala Polisi.

Syafei Wirakusumah yang telah siap waspada untuk ditangkap Belanda waktu itu pulang dari kantor polisi dengan wajah girang berseri-seri, karena hasil usahanya sukses besar, dan anehnya ia pulang dari kantor polisi dengan mengantongi uang, yang oleh Kepala Polisi berkebangsaan Belanda itu dikatakannya untuk mengganti ongkos telegram yang dikirim panitia kepada Gubernur Jendral.

Bukan saja panitia yang bergembira atas hasil usahanya itu., tetapi tidak kurang dari itu adalah intelektual muslim yang brilliant itu sendiri, Prof. Kamal Schoemaker.

Dan untuk memperlihatkan kegembiraan hatinya, dengan memakai jubahnya yang khas pada hari baik dan bulan baik itu kini ia balik berkunjung ke rumah Ketua Panitia Shalat 'Ied yang gigih itu, Syafei Wirakusumah, sambil mengucapkan, "Selamat Hari Raya!". Dan peristiwa bersejarah itu terjadi pada tahun 1931 sebagai awal pertama kaum muslimin Indonesia memulai Shalat 'Ied di lapangan terbuka.

Demikian sekelumit sejarah dan kisah terpendam yang patut dicatat oleh generasi islam masa kini dan masa mendatang.

Cuma sedikit pertanyaan di hati dalam hati kita, apakah pemimpin-pemimpin Syarikat Islam masa kini masih mempunyai semangat kepeloporan untuk menegakkan ajaran-ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat seperti yang dimiliki para pendahulu mereka ? Dan apakah para pemimpin Islam pada umumnya masih mempunyai keberanian dan moril untuk berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan seperti apa yang dimiliki para pemimpin di jaman Kolonial dulu ?

Sekianlah, MINAL 'AIDIN WAL FAIZIIN WA ANTUM BI KHAIRIN FI KULLI 'AMIN ! SELAMAT HARI RAYA 'IDUL FITHRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN.

*) Firdaus, KH. AN, Panji-Panji Dakwah, CV. Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta 1991

Model Investasi (Sebuah Renungan Bijak)

Berikut ada tulisan bagus yang pernah diposting di berbagai milis beberapa waktu lalu. Sayang tidak ada yang menyebutkan siapa penulis asalnya. Semoga bermanfaat.

Salam

Model Investasi

"How do you invest for your future?" tanya saya pada seorang teman yang nampaknya hidupnya makmur dan keluarganya bahagia pada saat saya datang ke rumahnya yang asri. Saya ingin tahu rahasianya bagaimana ia bisa memperoleh kehidupan yang nampak begitu nyaman. Ia tidak langsung menjawab, entah karena saya bertanya dalam bahasa Inggris atau karena itu bukan pertanyaan yang biasa dilontarkan. Ia bahkan balik bertanya

"Investasi bentuk apa dan masa depan yang bagaimana ?" (Curang. Baliknya malah dua pertanyaan). Kali ini saya yang gelagapan.

"Yah...nabung untuk pendidikan anak-anak, nabung untuk masa-masa sulit, nabung untuk pensiun. Kalau-kalau kita sakit, dll. Kita kan orang swasta," Jawab saya sekenanya. Kali ini dalam bahasa Indonesia.

Ia lantas tertawa. "Saya pikir kamu bicara tentang 'The Ultimate Future'. Itu pertanyaan yang berat dan serius tapi kalau ini sih pertanyaan remeh." tambahnya. Saya jadi penasaran.

"So..., how ?" tanya saya mendesaknya.

Dengan senyum tertahan ia lantas menjawab,: "Saya telah memperoleh masa depan saya. Masa depan saya ya sekarang ini." Sialan! Ia mulai jahil dan hendak mempermainkan saya rupanya.

Karena tahu saya mulai jengkel ia lantas bercerita tentang masa lalunya. Katanya ia dibesarkan dari keluarga besar dengan kehidupan yang sangat miskin. Untuk makan sehari-haripun susah sehingga sering ia datang berkunjung ke rumah temannya yang kehidupannya lebih baik pas waktu makan malam agar bisa diajak makan sekalian.

Ketika duduk di bangku SMP ia bahkan harus berjalan kaki 8 km pp setiap hari untuk bersekolah. Jangan ditanya soal pembayaran SPP dan iuran lain-lain, tambahnya.

" Untungnya saya punya urat malu yang bisa disetel sehingga tidak pernah berpikir untuk bunuh diri atau keluar dari sekolah seperti beberapa teman yang lain meski dengan tekanan yang luar biasa besarnya." katanya, "Meski saya juga bukan anak yang cerdas dan memiliki prestasi di sekolah. Kamu tahu saya kan" tambahnya. "Gimana bisa punya prestasi kalau nggak punya buku diktat dan sering berangkat sekolah dengan perut kosong ?" tambahnya setengah bertanya. "Tapi saya punya keinginan kuat untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan meski saya tidak tahu bagaimana caranya." sambungnya.

"Sekolah adalah salah satu jalannya karena hanya itu yang saya miliki. Saya tahu itu karena saya banyak melihat anak-anak di kampung saya yang hanya bisa 'berkarier' di terminal bis dan angkot karena tak mampu bersekolah. Kalau tidak nyopir ya jadi jualan apa saja. Kalau yang punya sedikit keberanian ya jadi preman"

"Apa masa depan yang saya perjuangkan pada saat itu ?" Tiba-tiba ia bertanya pada saya. Saya diam saja karena tahu itu pertanyaan retorik. Ia lantas menjawab sendiri. "Waktu itu saya sering berdoa dalam hati :"Ya, Allah, kalau Kau memberiku pekerjaan yang baik, penghasilan yang cukup, anak dan istri yang menyenangkan, maka itu cukuplah bagiku." dan Allah telah memberi semua 'masa depan' yang saya inginkan tersebut sekarang ini." katanya sambil mengangkat kedua belah tangannya.

"Saya sudah memperoleh masa depan yang saya idam-idamkan sekarang ini dan saya tengah menikmatinya. Tidak ada lagi yang harus saya perjuangkan untuk diri saya pribadi" tambahnya. Entah mengapa tiba-tiba saya merasa seperti disindir.

"Tapi kita kan harus terus berusaha dan kita juga harus memikirkan masa depan anak-anak kita bukan hanya kehidupan kita sekarang tapi juga dimasa yang akan datang." Demikian sergah saya membela diri.

"Tentu saja" jawabnya,"Emangnya kamu lihat saya doing nothing dan tidak memikirkan masa depan anak-anak saya?" Ia balik bertanya. "Bekerja dan berpikir adalah nafas kehidupan saya dan anak-anak adalah investasi saya,"

Saya masih defensif ketika ia meneruskan,"Justru itulah kita perlu memberikan teladan yang baik kepada anak-anak kita karena merekalah investasi kita. Kita ingin menuai hasil yang baik maka kita perlu menanam benih-benih yang baik pula. Harta, deposito dan tabungan pendidikan yang kamu simpan itu bukan investasi " Oops! kok tahu-tahunya ia kalau saya tertarik pada Program Tabungan Pendidikan yang gencar ditawarkan oleh bank-bank pada istri saya. "Biaya pendidikan bukanlah bagian yang terpenting tapi justru bentuk pendidikan apa yang hendak kamu berikan pada anak-anakmu yang lebih penting. Keteladanan adalah bentuk investasi yang akan saya tanamkan pada anak-anak saya"

"Inggih, Mbah!" jawab saya mengoloknya dan kamipun tertawa bersama.

Percakapan menjadi serius ketika ia bilang bahwa 'The Ultimate Future' yang sedang ia persiapkan adalah masa 'Life After Death'.

"Itu baru the Real Future!" katanya sambil tertawa,"Dan saya sedang serius mempersiapkannya."

Sambil wanti-wanti untuk tidak menceritakannya pada orang lain iapun bercerita bahwa ia sudah mulai menyisihkan penghasilannya lebih dari 10% untuk dibagi-bagikan pada tetangga-tetangganya yang kebanyakan orang miskin. Setiap bulan ia membagi-bagikan natura dan keperluan hidup berbentuk beras, supermie, telor, minyak goreng, sabun cuci, dll. kepada tetangga-tetangganya. Ia juga mengaku tidak punya tabungan khusus untuk masa-masa sulit seperti yang saya maksudkan dan juga tidak punya tabungan pendidikan bagi anak-anaknya. Ia yakin bahwa Allah akan memberikan biaya yang ia butuhkan pada saatnya kelak.

"Saya 'meminjamkan' harta saya kepada Allah dan nantinya akan dibalas dengan berlipat-lipat. Saya punya jaminan deposito yang tidak bisa dikalahkan oleh lembaga keuangan manapun di dunia ini" jawabnya sambil tersenyum setengah menggoda.

"Bisa nggak 'pinjaman' kita tersebut diambil sewaktu-waktu kalau kita membutuhkannya," tanya saya balik menggodanya.

"Tentu saja. Itu tinggal kita atur dengan Allah." jawabnya kalem.

"Gimana...?" saya mengubernya dan mulai merasa keqi.

"Ya tinggal bilang saja, 'Ya Allah Engkau tahu kapan saya membutuhkannya dan kapan tidak maka aturkanlah sebaik-baiknya untukku' Insya Allah beres." sahutnya.

"No...no...no! I'm serious" jawab saya agak jengkel.

"Saya juga serius." Ia menjawab sambil menatap saya dalam-dalam, "Dan itulah yang terjadi dalam hidup saya." Kami saling berpandangan selama beberapa detik sebelum akhirnya kami tertawa bersama-sama.

"Apa yang kamu kuatirkan dalam hidup ini ?" Tanyanya balik. "Bukankah burung yang terbang di langit dan cacing yang melata di bumi telah dijamin hidupnya oleh Yang Menciptakannya ?" ia melanjutkan. "Cicak yang merayap saja tidak pernah kuatir dengan hidupnya meskipun makanannya berupa mahluk yang terbang dan ia tidak punya alat untuk menjeratnya."

"Muuulai..!" kata saya dalam hati tapi tidak terucap. Biasanya kalau ia sudah mulai bicara mengenai filosofi maka akan sulit untuk menginterupsinya. Percuma untuk membantahnya meskipun menggunakan argumentasi sebagaimanapun canggihnya. Sebelum pembicaraan berlarut sedangkan saya masih harus menemui seseorang maka saya segera menghentikannya. Saya sebetulnya ingin mendebatnya dengan menyatakan betapa banyaknya orang yang kelaparan dan tidak mampu untuk mencari makan sehari-hari. Tapi niat tersebut saya urungkan karena perdebatan akan menyita banyak waktu saya.

"Oke...oke.! Tapi saat ini saya perlu bertemu dengan seseorang yang bisa menjamin apakah saya dapat proyek atau tidak. Nantilah kita teruskan cerita kita."

"Dasar penganut paham materialisme!" sahutnya sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. dan kamipun tertawa bersama-sama.

Tapi ditengah perjalanan saya jadi terganggu oleh pertanyaannya. Bahkan ketika saya menemui 'Mr Kepala Proyek'. Gambaran teman saya tentang cicak yang bersusah-payah memburu mangsanya yang terbang di sekitar lampu untuk bisa hidup membuat saya jadi terkesima. "Alangkah sulitnya hidup sebagai cicak" pikir saya akhirnya. Seandainya ia bisa terbang seperti mangsanya mungkin akan lebih memudahkan hidupnya karena ia bisa mengubernya kemana saja mangsanya tersebut terbang. Tapi ia harus menerima nasibnya hanya bisa merayap dan mengandalkan kecepatannya bergerak dan kelengahan mangsanya.

"Lantas bagaimana cara cicak mengurusi anak-anaknya ? Bagaimana pendidikan anak-anaknya ? Apakah ia memiliki asuransi pendidikan ?" Tiba-tiba saja pertanyaan absurd tersebut muncul di kepala saya.

"Bagaimana, Pak! Sampeyan bersedia dengan angka sekian?" Tiba-tiba saya dikagetkan oleh pertanyaan 'Mr Kepala Proyek'.

"Ya...ya..ya.!" jawab saya buru-buru. Gambaran sang cicak yang mengurus asuransi pendidikan bagi anak-anaknya lantas buyar begitu saja.